Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
akhirnya tetap tinggal di lingkungan
kabilah Bani Sa'ad, hingga terjadinya peristiwa dibelahnya dada beliau ketika berusia empat atau lima tahun. Imam Muslim
meriwayatkan dari Anas bahwasanya Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam didatangi oleh Malaikat Jibril 'alaihissalam saat beliau tengah bermain bersama
teman-teman sebayanya. Malaikat Jibril memegang beliau sehingga membuatnya pingsan lalu membelah bagian hatinya, kemudian Malaikat Jibril mengeluarkan
segumpal darahnya tersebut dan berkata, “ini adalah bagian syaithan yang ada pada dirimu!”. Kemudian Malaikat Jibril meletakkannya di
dalam baskom yang terbuat dari emas dan mencucinya
dengan air zam-zam, merapihkannya dan mengembalikannya ke tempatnya semula.
Melihat hal tersebut, Teman-teman
sebaya beliau saw berlarian mencari ibu susuan beliau saw yaitu Halimah, seraya berteriak, “sesungguhnya Muhammad sudah dibunuh!”. Kaget mendengar hal tersebut, halimah dan keluarganya
bergegas mencari beliau saw, dan akhirnya mereka menemukan beliau saw masih hidup namun dalam kondisi rona muka yang sudah
berubah. Anas (perowi hadits ini) berkata:
'sungguh aku telah melihat bekas jahitan itu di
dada beliau Shallallahu 'alaihi wasallam '.
Setelah peristiwa tersebut, Halimah merasa
cemas atas diri beliau sehingga dikembalikan lagi
kepada ibundanya. Kemudian Beliau saw pun hidup bersama ibundanya sampai berusia
enam tahun. Hingga pada suatu hari, Aminah merasa perlu untuk menziarahi kuburan suaminya di Yatsrib (Madinah), sebagai bentuk kesetiaannya terhadapnya.
Akhirnya, dia keluar dari Mekkah dengan menempuh
perjalanan yang mencapai 500 km bersama anaknya yang masih yatim, yaitu Muhammad
Shallallahu 'alaihi wasallam, pembantunya, Ummu Aiman dan mertuanya, 'Abdul Muththalib. Setelah menginap
selama sebulan disana, dia kembali pulang ke
Mekkah akan tetapi di tengah perjalanan dia
diserang sakit keras sehingga akhirnya meninggal dunia di suatu tempat yang disebut al- Abwa' , suatu
tempat yang terletak antara Mekkah dan Madinah.
Kemudian setelah kematian Aminah, Beliau Shallallahu
'alaihi wasallam dibawa kembali ke Mekkah oleh kakeknya. Perasaan kasih sayang terhadap sang
cucu yang sudah yatim piatu semakin bertambah
di sanubarinya, dan hal ini ditambah lagi dengan adanya musibah baru (kematian ibu beliau saw) yang seakan menambah luka lama beliau saw (kematian ayahanda Nabi saw) yang belum sembuh
betul. Melihat hal tersebut, Abdul Muthollib sebagai seorang kake pun merasa iba, yang akhirnya sebuah perasaan yang tak pernah ia tumpahkan terhadap seorangpun dari anak-anaknyapun muncul. Dia tidak lagi membiarkan cucunya tersebut hanyut dengan kesendirian yang harus dialaminya, bahkan dia lebih mengedepankan
kepentingan cucunya itu daripada
kepentingan anak-anaknya. Ibnu Hisyam rohimahulloh berkata, "
Biasanya, 'Abdul Muththalib menghamparkan permadaninya di naungan Ka'bah, lalu anak-anaknya duduk di sekitar permadani tersebut hingga dia keluar, dan ketika itu, tak
seorangpun dari anak-anaknya
tersebut yang berani duduk-duduk disitu untuk menghormati kedudukan ayahnya (abdul Muthollib di tengah-tengah kaumnya). Namun tidak
demikian halnya dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, tatkala beliau
masih muda belia dengan postur tubuh yang kuat, beliau dengan gagah datang dan
langsung duduk-duduk diatas permadani tersebut. (melihat hal tersebut) paman-pamannya
sertamerta mencegahnya agar tidak mendekati tempat itu. Namun Melihat tindakan
anak-anaknya itu (mencegah Muhammad saw kecil untuk duduk di
dinggasananya), Abdul Muthollib berkata kepada
merek, 'biarkan saja anakku ini (cucunya Muhammad saw) melakukan apa saja! Demi Allah!
Sesungguhnya dia nanti akan
menjadi orang yang besar!'. Kemudian Abdul Muthollib pun duduk-duduk
bersama beliau saw di permadani itu, lalu mengelus-elus punggungnya dengan tangan kasih sayangnya. (hal ini pertanda bahwa)Abdul Muthollib merasa senang
dengan apa yang dilakukan oleh cucunyatersebut".
Kakek beliau Shallallahu 'alaihi wasallam juga meninggal di Mekkah saat beliau berusia delapan tahun dua bulan sepuluh hari. Sebelum meninggalnya, Abdul Muthollib merasa bahwa selayaknya
dia menyerahkan tanggung jawab terhadap cucunya tersebut kepada paman beliau Shallallahu 'alaihi wasallam,
Abu Thalib, saudara kandung
ayahanda beliau.
Setelah itu Abu Thalib pun menjalankan kewajiban yang dibebankan kepadanya, untuk mengasuh
keponakannya itu dengan penuh tanggung jawab sepertihalnya dia mengasuh anak-anaknya sendiri. Bahkan, Sebagaimana Abdul
Muthollib, Au Tholib juga mendahulukan kepentingan beliau saw diatas kepentingan anak-anaknya sendiri. Dia juga, mengistimewakan beliau saw dengan penghargaan yang begitu berlebihan. Perlakuan tersebut terus
berlanjut hingga beliau Shallallahu 'alaihi
wasallam berusia diatas empat puluh tahun, pamannya itu masih tetap memuliakan beliau saw, memberikan
pengamanan terhadapnya, menjalin persahabatan
ataupun mengobar permusuhan dalam rangka membelanya. Bahkan hinnga Muhammad saw diangkat menjadi Nabi dan berbeda agama
dengannya, Abu Tholib masih tetap menolong dan mencurahkan tenaga dan
kekuatannya untuk melindungi Nabi saw.
selama dalam pengasuhan paman beliau saw, Abu
Tholib, terjadilah satu peristiwa penting. Ibnu 'Asaakir meriwayatkan hadits dari Jalhamah bin 'Arfathah, dia
berkata: " ketika aku datang ke Mekkah,
mereka sedang mengalami musim paceklik (tidak turunnya
hujan), lantas orang-orang Quraisy berseru: 'wahai Abu Thalib! Lembah
telah mengering airnya dan kemiskinan merajalela, untuk itu mari kita meminta turun hujan!'. Kemudian Abu Thalib keluar dengan membawa seorang anak yang bercahaya laksana matahari (beliau adalah Muhammad saw kecil). Abu Thalib
memegang anak tersebut, menempelkan punggungnya ke
Ka'bah, serta menggandengnya dengan jari-jemarinya. Ketika itu tidak ada sama sekali gumpalan awan, namun tiba-tiba saja awan menggumpal kemudian turunlah hujan dengan lebatnya sehingga lembah-lembah dipenuhi dengan air dan lahan-lahan tanah menjadi subur. Mengenai
peristiwa ini, Abu Thalib
menyinggungnya dalam rangkaian bait syairnya :
"…putih, seorang penolong anak-anak yatim
meminta turunnya hujan melalui
'wajah'-nya demi menjaga kehormatan para janda"
masih pada masa pengasuhan Abu Tholib,
terjadi pula peristiwa penting lainnya. Ketika Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam berusia dua belas tahun – ada riwayat yang menyatakan; dua belas tahun dua bulan sepuluh hari
-pamannya, Abu Thalib membawanya serta berdagang ke negeri Syam hingga mereka sampai di suatu tempat bernama Bushra yang masih termasuk wilayah Syam dan merupakan ibukota Hauraan . Ketika itu
juga, Syam merupakan ibukota negeri-negeri
Arab yang masih dibawah kekuasaan Romawi.
Di negeri inilah dikenal seorang Rahib ternama yang bernama Buhaira (ada yang mengatakan nama aslinya adalah Jirjis). Ketika rombongan (kafilah dagang) Abu Tholib tiba, Buhaira langsung menyongsong mereka, padahal
sebelumnya tidak pernah dia melakukan hal itu terhadap rombongan
(kafilah dagang) yang lain. Sekanjutnya Buhaira pun menghampiri mereka satu-persatu, hingga sampai
kepada Rasulullah saw, lalu ia pun memegang tangannya sembari berkata: "inilah penghulu para makhluk, inilah Rasul Rabb
alam semesta, dia diutus oleh Allah
sebagai rahmat bagi alam semesta ini".
Melihat kejadian itu, Abu Thalib dan pemuka kaum Quraisy pun bertanya
kepadanya: "bagaimana anda tahu hal itu?". Buhaira pun menjawab: "sesungguhnya ketika kalian
menanjak bebukitan, (kalian akan mendapati) tidak satupun dari bebatuan ataupun pohon melainkan bersujud terhadapnya saw, dan kedua makhluk itu tidak akan bersujud kecuali terhadap Nabi. Sesungguhnya aku dapat mengetahuinya melalui cincin kenabian yang terletak pada bagian bawah tulang rawan pundaknya yang bentuknya
seperti apel.
Sesungguhnya kami mengetahui beritanya itu dari kitab suci
kami.”
Kemudian barulah sang Rahib mempersilahkan dan
menjamu kafilah dagang Abu Tholib itu secara istimewa. Ditengah-tengah sambutan meriah tersebut, Buhaira pun meminta kepada
Abu Thalib agar memulangkan keponakannya tersebut ke Mekkah dan tidak lagi mengajaknya pergi berdagang ke Syam, sebab Buhaira khawatir bila kabar tentang kenabian
Muhammad saw terdengar oleh orang-orang Romawi dan Yahudi. Akhirnya, paman Abu Tholib pun mengirim beliau saw bersama sebagian anak-anaknya ke Mekkah.
banyak peristiwa penting dan menakjubkan yang terjadi pada diri Muhammad
saw selama beliau berada dibawah asuhan pamannya, Abu Tholib. Sebenarnya masih
banyak kejadian penting lainnya yang terjadi hingga beliau saw diangkat menjadi
Nabi dan Rosul nanti, kejadian apa sajakah itu? Kita akan simak bersama insya
Alloh pada rubrik siroh Nbawiyah di edisi berikutnya. Wallohu a’lam.
0 Response to "KISAH MASA KECIL RASULULLAH SAW"
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.